Angka Pernikahan Lagi Turun, Ini Alasan Gen Z Nunda Nikah!
Jadi beberapa minggu kemarin, saya habis diskusi bareng kawan saya, dia nih suka jadi partner ngobrol bareng di malam hari, dengan pembahasan yang random, kadang ngomongin kenapa perbedaan waktu di Indonesia hanya 3, padahal tiap beberapa jarak itu udah beda? atau ngobrolin Israel dan Palestina yang gak berhenti-berhenti, atau mahalnya apa-apa karena perang Rusia-Ukraina, tentang mental health, rasa sakit akibat ulah cinta, atau hal-hal receh yang kek, apa kabar? gimana harinya?
Ngebuka topik opini di blog saya adalah cita-cita yang paling saya rindukan selama ini, kenapa? karena ada banyak pikiran yang bisa dijamah untuk terdengar, gak muluk-muluk untuk semua orang tau, setidaknya yah tersampaikan dengan baik, kalau ada baiknya alhamdulillah, ada buruknya berarti ambil hikmahnya! So, saya kebuka pintu saran dan kritik.
Jadi tau lah yah, Indonesia mengalami bonus demografi dimana jumlah anak mudanya gak sebanding dengan jumlah para orang tua, generasi boomers dan x contohnya. Untuk itu di opini ini, saya pakai genzi buat nyebut kamu semua.
Jadi langsung ke topik!
Genzi people pasti udah tahu, kemarin pada rame kalau ada penurunan data angka pernikahan, gak usah bingung, yang nyebapin tuh sebagian dari kalian semua.
Data dari BPS menyebutkan tahun 2023 terdapat pernikahan di Indonesia sebanyak 1.477.255, mungkin genzi people kira itu masih banyak, tapi kalian harus tahu disini ada penurunan sejumlah 128.000 dibanding tahun 2022. Semntara angka pernikahan dalam satu dekade itu penurunannya gak main-main, mencapai 28,63% banyak loh itu!
Sebagai anak genzi dan teman saya juga genzi, kami bertukar pikiran kenapa anak genzi pada nunda nikah, ini mungkin relate buat genzi people, dan kalian harus tahu, ada dampak yang bakal menghantui jika fenomena ini bakal terus terjadi secara terus menerus.
Alasan
Peningkatan Kesadaran Diri
Kata temanku, peningkatan kesadaran adalah salah satu utama apalagi di era digital sekarang. Media sosial tuh ngebuka semuanya, SEMUANYA. kadang ada cerita orang-orang kaya ohw relationship dia tuh hancur gara-gara si cowok kek gini, toxic gak sih? red flag gask sih? atau manipulatif banget!
Nah secara gak langsung, cerita atau istilah-istilah yang baru gabung sama kita di era genzi ini tuh bakal terpatri sama diri, jadi adalah nanti muncul ketakutan cari pasangan, atau muncul perfeksionis kalau dia gak boleh toxic, manipulatif, red flag, dan lainnya.
Bakal ada kriteria tertentu yang ngebuat genzi people bakal nunda-nunda terus, coba kita kembali ke jaman anak muda boomers dan x, dengan mereka dijodohin, gak kenal istilah-istilah baru itu, gak tau sifat asli pasangannya yah langsung nikah dan proses perkenalan dan penerimaan tuh ketika udah berumah tangga, jadi jangan heran kalau angka pernikahan dulu tinggi, atau ada kata-kata kaya gini, “malu deh kalau perawan tua!” “ umur 25 belum punya jodoh!”
Kita Berada di Era Kompetisi
Genzi people sadar gak? makin hari makin sulit aja nyari kerja, jadi karyawan warung seblak masa yang lamar sampai bejibun, loker yang buka pada gak sesuai sama kemampuan, yang buka loker dikit aja nih, sumpah banyak banget persyaratan sama tesnya!
Siapa yang ngerasain kaya gitu juga? genzi people harus tahu, bonus demografi tuh seperti seleksi alam, makin banyak orang, bakal makin ngebuat cari kerja susah, perusahaan bakal nyari terbaik dari yang terbaik, ngerasa udah hebat? yang benar aja, di atas langit masih ada langit.
Dengan adanya bonus demografi, orang-orang pada ramai ningkatin velue nya dia, asah skill sebanyak-banyaknya, kuliah di universitas bagus dan prestasi yang baik, bangun branding personal.
Nanti membuat standar perusahaan makin gede, orang dengan kemampuan segitu banyak dek! unggulin apa kamu?
Itulah realitasnya, yang mau saya sampaikan, cinta gak melulu jadi prioritas utama! dengan sembarangannya minta nikah tapi kerja gak dapat-dapat, mau makan apa? mungkin begitu banyak pikir genzi sekarang.
Umur masih 25an kenapa harus buru-buru? ningkatin skill dulu gak sih terus dapat kerja, kalau udah yah sisa nyari pasangan, sesimple pikiran orang tapi serumit benang wol dijejerin, gak segampang itu, drama kerjaan atau mentah health, ditambah makin sadar orang dengan media sosial. Sudahlah.
Wanita Independen Ngalahin Feeling
Wanita independen yang sibuk ningkatin diri dan bisa nyari uang bakal makin hari makin gak butuh laki-laki, real kah? Ini pandangan saya, wanita bukan seperti laki-laki yang punya gairah tinggi, mereka bisa mengendalikan tapi laki-laki susah.
Mereka bisa hidup sendiri tanpa peran pasangan disampingnya, otomatis bakal punya sifat perfeksionis akan pasangan idaman, mungkin gak lagi mikir cinta, tapi alamak? orang idamannya gak muncul-muncul karena perfeksionisnya dia, ibarat nyari jarum di jerami.
Kadang laki-laki enggan atau kadang juga merasa takut dikendalikan, atau kadang juga gak mau ningkatin diri.
Biaya Makin Hari Makin Parah Aja
Tradisi nikah yang gak masuk akal dengan dana yang bikin linu kepala, biaya hidup yang mulai bikin puyeng, atau perlengkapan bayi udah bikin garuk-garuk kulit kepala.
Beras makin mahal, telur, minyak, dan sebagainya sedangkan banyak para genzi yang belum kerja tetap dan gaji yang aduhai bikin sengsara, terus berani nikah dan pengen punya anak?
Itu pikir banyak orang, genzi juga sadar makin banyak permasalahan yang dialami terkait biaya walaupun hanya tinggal sendiri, jadi mau dikemanakan masalah yang tambah kalau hidup berdua?
Dampak
Mengurangi Populasi
Tidak mengherankan jika penuruan angka pernikahan akan menurunkan populasi manusia,ambil contoh Jepang, Swiss, Korea. Sangking generasinya mencapai batas bawah, sekolah pada tutup.
Kenapa mengurangi populasi? karena sulitnya mencari kerjaan yang pada akhirnya berdampak ke pikiran mereka bahwa gimana caranya saya bisa hidup? Cari pasangan, yah mana ada kayak gitu! Mereka bakal fokus pada karir mereka.
Tentu bakal mengurangi populasi, sampai-sampai pejabatnya negara itu bikin namanya kebijakan yang akan menguntungkan warganya, misal dikasih cuti panjang buat ibu hamil, tunjangan buat besarin anak-anaknya, beasiswa untuk pendidikan anaknya kelak.
Tapi, pola pikir penduduk mereka udah nancep nih, nawarin apa saja gak bakal berhasil, karena udah ada tren gak nikah, ada perubahan pola pikir untuk lebih individual daripada mikirin orang lain lagi kelak.
Mengurangi SDM
Logikanya, populasi menurun bakal mengurangi SDM, mungkin iyya akan ada kualitas pekerja ketika populasi menurun karena akses pendidikan yang udah gak berkompetisi itu, namun secara kuantitas akan rendah.
Banyak negara yang udah ngalaminn ini, mereka gila-gilaan nawarin pekerjaan sama orang-orang yang padat penduduk di suatu negara, Jepang sama Indonesia misalnya, udah banyak warga Indonesia yang kerja disana! kalau misal pola pikir orag jepang masih sama, yah siap-siap bakal ada perbedaan yang jomplang antara warga lokal dan orang pendatang dari luar negeri.
Setelah Generasi Emas akan Membentuk Generasi Level Dibawahnya
Bonus demograsi kayak genzi people ini, itu diharapkan oleh para pemerintah menjadi generasi emas yang mungkin kualitas dan kuantitas SDM bakal sama rata, tapi masalahnya adalah setelah generasi emas akan muncul generasi dengan level dibawahnya.
Para genzi dan generasi berikutnya yang mungkin akan berkontribusi mengurangi populasi nantinya, kualitas akan ada sama next generasi tersebut, hanya saja akan ada ketimpangan kuantitas SDM yang menurun.
Balik lagi tadi, SDM yang menurun mengancam adanya pendapatan yang menurun dan akan membuka pintu selebar-lebarnya oleh para pendatang luar negeri untuk nyari kerja.
Itu aja yah pembahasan kali ini, Kalau genzi people mau nambahin alasan atau dampak, kuyy di koment, saran dan kritik kebuka selebar-lebarnya!
Posting Komentar